Dalam dunia ini mungkin aku bukan siapa-siapa. Bukan seorang selebritis,
bukan pula seorang gadis yang bisa menempatkan diriku di antara
kerumunan cowok-cowok di lorong kampus. Terkadang dalam hati kecilku
tersirat rasa ingin demikian, ingin dikagumi, ingin dilihat dengan
pandangan iri. Tapi semua keinginan itu tingal impian saat kulihat gadis
pendek berkaca mata di depan cermin.
“Ah, Mia. Kamu hanyalah gadis biasa,” demikian selalu kata hatiku berhasil menyeretku kembali ke alam sadar.
Demikian juga yang terjadi di hari Senin yang aneh itu.
“Mia, kamu ngga ke kantin?” tanya Febrita sahabatku. Kugelengkan
kepalaku sambil tersenyum. “Ngga ah, aku mau ke ruang baca saja.”
“Kamu selalu begitu, menjauhi keramaian,” kudengar sahabatku mengomel.
“Masa?” tawaku kecil. “Kan enak sepi-sepi.”
“Hiii,” balasnya dengan mengerutkan wajah. Sesaat kemudian kami tertawa
bersamaan. “Ya sudah deh,” ucap Febrita kemudian, “nanti sebelum pulang
kamu hampiri aku di kantin, okay?”
Kuanggukkan kepalaku dan melangkah menuju ruang baca.
“Mia?” mendadak sesorang menyapaku. Kutolehkan kepalaku dan tidak
melihat siapapun kecuali segerombolan pemuda yang asyik merokok di depan
majalah dinding. Dengan heran kulangkahkan lagi kakiku.
“Mia kan?”
Kutolehkan lagi kepalaku dan nyaris melompat mudur saat seorang pemuda
bertubuh jangkung sudah berdiri di belakangku. Pemuda itu tertawa
melihatku menyeret langkah mundur, “Hey, kok jadi panik begitu.”
Kupalingkan wajahku ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari senyuman licik
yang mengembang dari mulut seseorang. Ternyata tidak ada.
“Kamu nyariin apa? Aku disini, loh,” ucap pemuda itu lagi setelah ikut
menolehkan kepalanya ke sana dan kemari. Kutatap pemuda itu dengan
pandangan curiga, “Kamu siapa?”
“Aku Natan, kakak kelas kamu. Ingat? Yang nyuruh kamu naik sepeda
keliling kampus waktu ploncoan?” Sekejap kemudian kenangan pahit itu
terlintas kembali di benakku, saat beberapa kakak tingkat menyuruhku
naik sepeda, sesuatu yang sangat kubenci, berkeliling kampus dengan
kalung bawang di leherku. “Ingat.”
Pemuda itu memasang senyumnya kembali, “Aku mau pinjam catatan.”
“Catatan?” tanyaku heran.
“Iya,” sahutnya, “review ekonomi makro-nya Samuelson bab delapan.”
“Oh,” jawabku dengan mengangguk-anggukkan kepala. Kalau masalah
pelajaran sih aku memang sudah terbiasa menghadapi anak-anak tukang
pinjam.
“Jadi?”
“Ah, ya,” dengan sedikit gugup kurogoh tas besar di gendonganku dan mengeluarkan sebuah buku berwarna merah tua. “Ini.”
Sebenarnya dalam hati aku merasa heran, mengapa aku mau meminjamkan buku
yang rencananya akan kubaca nanti pada seorang yang baru saja kukenal.
“Hey, thanks,” ucap pemuda itu. Matanya berbinar saat melihat buku merah di hadapannya. “Aku kembalikan besok?”
“Terserah,” jawabku tanpa sadar. Sesuatu menghipnotisku.
“Besok, di kantin, pukul setengah sepuluh.”
“Terserah.” Jawaban apa pula itu.
Jemarinya mendadak melayang dan mengetuk lembut kepalaku sebelum pemuda
itu berlalu dengan tertawa dan mengucapkan sepatah kata, “Kamu lucu.”
Ah?
Aku mimpi.
“Feb, kamu ngga bakalan percaya deh.”
Febrita mengangkat kepalanya dan memandangku sambil bergumam tak jelas
karena mie goreng dimulutnya, “Aa aa?” Dengan tertawa kutopangkan
kepalaku di tangan, “Tadi ada cowok.” Febri langsung menelan makanannya
dengan paksa, “Cowok?”
“Iya,” jawabku sambil tersenyum. lalu kuceritakan tentang cowok yang barusan saja meminjam buku catatanku.
“Tunggu,” mendadak wajah sahabatku berubah serius, “kamu bilang Natan?”
“Iya, kenapa?” tanyaku heran.
“Natan? Tinggi, putih, cakep?”
Baru kusadari apa yang membuatku terhipnotis seperempat jam yang lalu.
“Kayanya sih iya.”
“Curang!!” Febrita langsung histeris dan mengguncang-guncang tubuhku.
“Eh, eh, tunggu! Ada apa ini?”
dua
Dengan jantung berdebar tak karuan kupandangi setiap orang yang
melangkah memasuki kantin. Aduh, aduh, seruan di hatiku semakin kencang
setiap detik.
“Mana Mia? Kok belum datang?” tanya Febrita tak sabar.
“Mana kutahu,” bisikku seolah tak ingin Febrita merasakan kegugupanku.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima. Tapi Natan
masih juga belum muncul. Perlahan rasa putus asa dan kecewa kembali
merasuk di hatiku. “Sudahlah, ayo masuk. Cowok gituan paling masih sibuk
dengan teman-temannya.” Dengan menganggukkan kepala lemah kuangkat
tubuhku dan melangkah keluar kantin. Sayup-sayup bisikan itu kembali
terdengar di hatiku, mengusik dan memastikan kenyataan, “Ah, Mia. Kamu
hanyalah gadis biasa.”
Memang. Lalu kenapa?
Tapi catatanku?
tiga
“Mia, ada teman kamu tuh di depan.”
Huh, siapa sih yang main ke rumah sore-sore begini. Dengan kesal
kutinggalkan tempat tidur dan melangkah ke luar tamu, “Siapa, Ma?”
“Ngga tau, katanya mau mengembalikan catatan.”
Mungkin karena setengah mengantuk dan baru mengalami hari yang
mengesalkan aku tak sempat mencerna kata-kata mama. Langsung
kulangkahkan kakiku dan membuka pintu depan. Dan di sana suara tawa
menyambutku.
“Eh?” seruku tertahan dengan mata membeliak tak percaya saat melihat
Natan berdiri di teras dengan tawa yang keluar dari mulutnya.
“Aduh,” ucapku tanpa sadar dan melarikan diri masuk ke dalam rumah
menuju kamar tidur. “Kenapa, Mia?” sempat kudengar mama bertanya. Mana
ku tahu, sahutku dalam hati kebingungan merapikan diriku di depan kaca.
“Kok lari?” tanya pemuda itu setelah aku melangkah keluar rumah.
Dengan wajah merah kugelengkan kepalaku. “Ngga apa-apa.”
Pemuda itu tertawa lagi dan menyodorkan buku merah kepunyaanku. “Nih, buku kamu.”
“Thanks,” sahutku dan mengambil buku itu.
“Aku yang thanks,” jawab pemuda itu. Aku sama sekali tak berani memandang wajahnya.
“Iya deh,” jawabku pendek.
“Sepertinya waktuku tidak tepat, ya?” kudengar pemuda itu bertanya.
Bukan. “Ngga kok,” sahutku cepat.
“Aku langsung balik saja, ya?”
Kok cepat?
“Terserah deh.”
Walau dalam hati aku kecewa namun aku tak bisa berkata apapun, hanya
bisa memandang pemuda itu melangkah ke luar pagar. Derum mesin mobil
terdengar beberapa saat kemudian, semakin lama semakin jauh.
“Teman baru kamu?” suara mama mengagetkanku dari belakang.
“Entahlah, Ma,” jawabku setengah berbisik dan melangkah masuk menuju kamar.
Kupandangi buku merah di samping kepalaku.
Apa yang baru saja terjadi? Apa yang akan terjadi?
Kubuka buku merah itu dan langsung mendudukkan tubuhku saat melihat
gambar kartun seorang gadis berkacamata dengan lidah menjulur disertai
bubble words “aku lucu loh”. Setengah kesal bercampur girang kututup
buku itu dan tertawa sendiri. Mungkin aku sudah gila.
empat
“Masa? Dahsyat!” Febrita berseru dengan membelalakkan matanya setelah
kuceritakan kejadian kemarin. “benar, aku ngga bohong,” ucapku seraya
mengeluarkan buku merah yang sejak tadi malam entah sudah berapa kali
kubuka dan kututup, hanya untuk melihat gambar di dalamnya. Febrita
membuka buku itu dan memandangi gambar yang ada di halaman terakhir.
“Mungkin dia suka kamu, Mia.”
Masa?
“Mana mungkin sih, Feb. Memangnya aku siapa?”
Febrita memundurkan tubuhnya dan memandangiku dari ujung kepala sampai
ke ujung kaki seperti melihat hantu. “Iya, ya. Aku juga bingung.”
Dengan kesal kutarik ujung rambutnya. “Awas kamu.”
“Hai.”
Sapaan itu mengejutkan kami berdua. Febrita langsung mengerut di sudut
kursi dan memandang dengan pandangan terkejut saat melihat seorang
pemuda bercelana jeans hitam dan berkemeja kotak-kotak sudah berdiri di
sebelahku.
“Eh,” hanya itu kata yang bisa kuucapkan. Natan tertawa kecil dan mengulurkan tangannya kembali lalu menjitak kepalaku lembut.
“Anak lucu.”
Dan aku sama sekali tak berusaha mengelak! Hanya tertegun, sementara
Febrita bangkit berdiri sambil tersenyum-senyum. “Aku lupa ada janji di
kantin.”
“Feb!” seruku menahan tapi Febrita sudah berlalu dengan tak lupa melirik
penuh arti ke arahku. Aduh, sekarang tinggal aku sendiri dan…..
“Nanti malam di rumah?”
Ups! Kupalingkan wajahku, ternyata Natan sudah mendudukkan dirinya di
sebelahku. Astaga! Astaga! Kutolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri,
mencoba mencari pertolongan.
“Halo, kamu masih hidup?”
“Hah?” ucapku kaget, “Iya, iya, aku di rumah.”
Natan tertawa beberapa saat tanpa henti. “Kamu kenapa sih?”
“Ngga apa-apa,” jawabku masih setengah panik.
“Nat, ayo masuk, nanti terlambat,” mendadak seorang pemuda menghampiri kami.
“Oh,” sahut Natan sebelum bangkit berdiri. “Nanti malam jangan lupa mandi.”
Mandi? Mandi? Apa maksudnya?
Febritaaa!! Di mana kamu!
lima
Pagi itu aku bangun dengan suasana hati yang luar biasa. Seakan aku
ingin berteriak pada semua orang di dunia ini kalau tadi malam Natanael
Songko, kakak tingkat yang keren itu mengecup bibirku!
Bibir! Bibir! Seperti yang di film-film barat itu! Sebuah pengalaman
sensasional yang tak mungkin kulupakan seumur hidupku. Suasana yang
romantis di sebuah restoran elite. Dekapan hangat selama perjalanan
pulang, dan sebuah kecupan yang lembut di bibir. Apa lagi yang
kuharapkan dari hidupku?
“Duh, anak mama. Kok ceria sekali hari ini?” Mama tersenyum menatapku
dari balik surat kabar. Dengan melompat kecil kuhampiri ia dan kupeluk
hingga mama tertawa. “Aduh, kenapa lagi anak mama satu ini?”
“Aku sayang mama.”
“Mama juga. Tapi ada apa sih?”
“Rahasia dong,” jawabku lalu menuju ruang makan.
“Halo, Sayang,” papa memeluk mama dan mencium pipinya. Dalam hati aku
ikut tersenyum, seolah bisa memaklumi. Mungkin tiga bulan yang lalu aku
masih memandang dengan penuh keirian pada mama. Sekarang? Nggak lah.
“Hey, sini!” Papa berseru padaku. Kuhampiri lelaki setengah baya itu,
memeluknya dengan hangat. Sejak kepergian papa ke Jepang tiga setengah
bulan lalu untuk mengambil S2, memang terasa benar ada sesuatu yang
hilang dalam keluarga kami.
“Mia kangen loh, Pa,” ucapku di telinganya. Papa tertawa dan menggandeng kami ke arah taksi.
“Sori Papa ngga bawa oleh-oleh banyak buat kalian,” ucap papa di meja
makan. mama tersenyum dan menyodorkan mangkuk sayuran. “Ngga apa-apa,
asalkan Papa bisa pulang dengan selamat kan cukup. Iya kan, Mia?”
“Iya,” jawabku dan menyeduh teh hangat di depanku. Mama tertawa dan
berkata seraya melirik papa, “Tapi ngga bawa oleh-oleh sekalian untuk
Mia ngga apa-apa kok, Pa. Mia nggak bakalan sedih kok, Pa.”
“Mama!” ucapku dengan nada sebal dan wajah memanas. Papa melirik ke
arahku dan menyenggol sikutku. “Masa? Jadi sudah ada yang menggantikan
Papa di hati anak Papa?”
“Ngga ada!” jawabku cepat. Mama tertawa lagi.
“Suruh ke sini nanti malam. Ini perintah.”
“Yah, Papa?” ucapku dengan nada lemas.
enam
“Hahaha,” terdengar papa tertawa dari depan teras. Dengan berdebar-debar
kuteruskan memutar sendok teh itu walaupun kuyakin gula di dalamnya
sudah larut sepuluh menit yang lalu. Akhirnya papa melangkah masuk dan
menghampiriku. “Sudah, bawa sana tehnya.”
Nyaris aku bersorak girang melihat senyuman di wajah papa.
“Thanks, Pa,” seruku seraya memeluknya. Papa menggeliat dan tertawa kecil.
“Heh, heh. Apaan ini?”
“Papa kamu menarik, aku sama sekali tidak mengira kalau dia seorang dosen.”
Dengan tersenyum kuperhatikan Natan meminum teh hangatnya.
“Natan,” panggilku lirih.
“Ya?” pemuda itu meletakkan cangkir teh dan mengangkat kepalanya
menatapku. Kutundukkan kepalaku dan memainkan jepit rambut di jemariku.
“Yang semalam itu…”
Mendadak Natan mengulurkan tangannya dan meletakkan telapak tangannya di atas jemariku. “Aku kan sayang kamu.”
Tersenyum kuangkat kepalaku menatap matanya.
Sungguhkah ini?
“Oh, aku punya sesuatu untuk kamu.” Natan melepaskan jemarinya dan
merogoh ke balik punggungnya. Dengan berdebar kulihat Nathan
mengeluarkan sebuah kotak kecil dibungkus plastik. “Apa itu?”
“Buka saja sendiri,” ucap pemuda itu dengan nada misterius.
Hati-hati kukeluarkan kotak itu dan membukanya.
“Astaga, Natan!” pekikku tertahan saat melihat sebotol parfum di dalamnya.
“Kamu suka?”
Melompat kubangkit berdiri dan memeluknya. “Makasih.”
Natan melepaskan pelukanku, melepaskan kaca mataku dan mengecup bibirku. Langsung kutarik kepalaku dan melirik ke dalam rumah.
“Gila kamu, ini kan di rumah.”
“Aku ngga ingin lupa rasa bibirmu.”
Wajahku langsung terasa panas.
Malam itu, sebelum pulang, Natan mencium bibirku lagi di dalam mobil.
Satu kalimat yang terngiang di telingaku dan membuatku menyusupkan
kepala ke balik guling dengan malu-malu. “Aku sayang kamu.”
tujuh
“Kamu bolos lagi?” tanya Febrita dengan alis berkerut.
“Tolong, Feb. Ini yang terakhir. Aku kan sekarang ulang tahun. Mana mungkin papa dan mama mengijinkan aku keluar sampai malam?”
Dengan menggelengkan kepalanya Febrita melambai, “Iya deh. Tapi jangan
lupa katakan pada Natan kalau aku juga ingin punya cowok.”
Sambil tertawa kupeluk sahabatku. “Kamu baik deh.”
“Dari dulu,” ucapnya pendek.
“Bagaimana?” tanya Natan yang sudah menunggu di lapangan parkir.
Kumiringkan kepalaku sedikit dan mengembangkan senyumku. Natan tertawa
dan melangkah ke samping mobil, membukakan pintu untukku. “Silahkan Tuan
Puteri.”
“Kita ke mana?” tanyaku setelah mobilnya meluncur di jalanan. Natan
menggenggam jemariku dan menatapku. “I have something for you.”
“Oh, ya?” tanyaku ingin tahu.
Setelah parfum, gaun, gelang sampai ke kalung selama enam bulan hubungan
kami, apa lagi yang akan diberikannya sebagai kejutan untukku? Pasti
sesuatu yang istimewa mengingat hari ini ulang tahunku.
“Welcome to my humble house,” ucap Natan setelah membukakan pintu
untukku. Dalam hati aku merasa sesuatu yang tidak benar sedang
berlangsung di sini. “Nat, nanti kalau ada orang tua kamu bagaimana?”
“Mereka sedang di Jakarta, hanya ada pembantu dan sopir.”
Kuangkat kepalaku dengan ragu-ragu, memandang rumah besar yang pasti dua
kali lipat rumahku itu di depan mata. “Ayo,” bisik Natan di telingaku
dan menutup pintu mobil. Sesaat kemudian pemuda itu sudah menyeretku
melintasi pagar kepintu ruang depan yang terbuat dari kayu jati berukir.
“Tutup mata,” bisiknya seraya tersenyum misterius di depan wajahku.
“Ngga mau ah,” jawabkumasih ragu-ragu. Natan tertawa dan meletakkan jemarinya di kedua mataku. “Ayo tutup, ini kejutan.”
Akhirnya kututup mataku dan kudengar suara pintu dibuka. Natan
menuntunku masuk dan melangkah beberapa detik sebelum berkata, “Sekarang
pelan-pelan duduk.” Mengikuti kata-katanya kududukkan tubuhku dan
merasakan keempukan sofa di bawahku.
“Natan?” tanyaku saat merasakan pegangannya lepas dari lenganku.
“Ssshhh,” kudengar Natan berbisik tak jauh dariku.
“Buka mata,” akhirnya kudengar Natan berkata lembut.
delapan
Tak ada kata yang bisa kuucapkan saat melihat apa yang kulihat di
hadapanku saat itu. Bermacam hidangan terhampar di sebuah meja kayu, dua
batang lilin menyala di tengah-tengah meja, memberikan sedikit cahaya
di ruangan yang remang-remang karena jendela ditutup.
“Natan,” bisikku lirih. Di sisi lain meja, Natan dengan tersenyum
membungkukkan tubuhnya dan mengangkat naik sebuah kue taart cokelat
dengan lilin berbentuk angka di atasnya.
“Selamat ulang tahun, Mia.”
“Natan,” lagi-lagi hanya namanya yang bisa kubisikkan. Perlahan
kurasakan wajahku memanas dan air mata menetes di pipiku. Natan bangkit
berdiri, menghampiriku dan memeluk leherku dari belakang.
“Kok nangis? Kamu ngga suka?”
Bagaimana bisa tidak suka? Seumur hidupku, saat inilah saat yang paling
istimewa yang pernah kualami. Candle light dinner. Bagaimana aku bisa
tidak suka? Bagaimana aku tidak menangis melihat mimpi-mimpi yang jadi
kenyataan?
“Mia?” Natan berbisik di telingaku.
Dengan spontan kubalik tubuhku, menarik kepalanya dan mengecup bibirnya.
Natan membalas melumat bibirku selama beberapa saat, sebelum menarik
tubuhku menjauh, menyeka air mataku dan mencium keningku.
“Sudah, ayo kita makan.”
Masih terisak kubalikkan tubuhku menghadapi meja makan.
Ya Tuhan, apa yang diperbuatnya hingga aku tak merasa jatuh cinta padanya?
sembilan
“Bukan begitu, begini,” Natan berkata sambil tertawa. Tangannya menopang
tubuhku hingga tak sampai terjatuh. Dengan wajah merah aku berusaha
meluruskan tubuhku. “Susah.” Natan masih tertawa dan mencium bibirku.
“Belajar dong.”
Perlahan kuperhatikan lagi irama yang keluar dari tape-deck di samping
tv dan menggerakkan kakiku seiring gerakan Natan. Beberapa saat kemudian
tubuhku sudah limbung lagi, kali ini aku benar-benar terjatuh ke atas
karpet.
Natan tertawa dan mendudukkan tubuhnya di sebelahku.
“Badanku lemas,” bisikku lirih.
Kurasakan Natan memeluk tubuhku dan menempelkan kepalaku di dadanya.
“Lain kali pelan-pelan saja.”
Bukan itu. Tapi tubuhku terasa lemas sekali. Dan rasa panas di kepalaku.
“Mia?” kudengar Natan berkata di telingaku. Aku tak sanggup menolehkan
kepalaku, semua terasa berputar. Kuraih leher pemuda itu dan memeluknya
erat-erat.
Natan mengecup bibirku….
sepuluh
Rasa nyeri dan dingin di tubuhku membuatku terbangun. Betapa terkejutnya
hatiku saat kulit lenganku menyentuh kulit seseorang. Kuangkat tubuhku
dan terkesiap melihat Natan berbaring di sebelahku…. telanjang bulat.
Aku juga… telanjang.
Kutarik tepian selimut di pahaku dan menutupi dadaku, bingung apa yang
terjadi dan apa yang harus kuperbuat. Natan menggeliat dan membalikkan
tubuhnya. Rambutnya kusut dan matanya terlihat berkantung, “Mia? Kamu
bangun?”
“Natan…?” bisikku lirih, dan air mata mulai membanjir di pipiku.
Kurasakan lengan pemuda itu melingkar di punggungku, bibirnya menempel
di telingaku.
“Aku sayang kamu, Mia.”
Masih terisak kurasakan bibirnya menyentuh bibirku. Lengannya melepaskan genggamanku pada selimut dan menekan tubuhku berbaring.
“Natan….” desahku saat merasakan tubuh pemuda itu menindihku.
“Aku sayang kamu,” bisikan itu kembali mengiang di telingaku. Kurasakan
getaran-getaran kecil di pori-pori tubuhku saat Natan membelai dan
mengecup buah dadaku. Ingin rasanya kucampakkan tubuh pemuda itu, tapi
tubuhku sendiri terasa begitu lemas dan benakku terasa berputar. Natan
mengangkat kedua lenganku ke atas dan menciumi leherku. Panas merasuki
tubuhku, membuatku menggelinjang dan mendesah.
“Ahhh,” erangku saat sesuatu menekan kemaluanku dan memaksa masuk. Rasa nyeri kembali menyerang selangkanganku.
“Mia,” kudengar Natan memanggil namaku dengan lembut. Kubuka mataku yang
sedari tadi kupejamkan dan kulihat Natan memandangku hangat lalu
mengecup bibirku yang setengah terbuka. Lalu kurasakan benda keras yang
menyesak di kemaluanku tadi melesak dan menusuk dengan rasa nyeri yang
luar biasa. Kudengar Natan mendesah dan mengerang di atasku. Perlahan
kurasakan kesadaran mulai meninggalkanku dengan pertanyaan-pertanyaan
‘apa ini? apa itu’. Tapi kecupan-kecupan Natan di tubuhku menarik
kesadaranku kembali, membuat tubuhku berguncang. Rasa nyeri itu perlahan
menghilang saat Natan menggerakkan tubuhnya, berganti dengan rasa geli
yang menyenangkan. Natan mengulum bibirku dan menarik lenganku
melingkari lehernya. Benda keras itu bergerak-gerak di dalamku,
memaksaku menggeliat dan mengerang. Perlahan tapi pasti suatu rasa
merangsak naik dari selangkangan menelusuri tulang punggungku, membuka
semua pori-pori kulitku, membuat bulu-buluku meremang. Mendadak langit
kamar berputar di atas kepalaku, kilatan cahaya menggelapkan dan rasa
pening sekejap menyerang kepalaku. Kurasakan benda keras itu tertarik
keluar. Natan mengerang dan tubuhnya kaku di atasku.
“Mia, aku sayang kamu. Selamat ulang tahun, Sayang.”
Dan aku tak bisa berkata apapun juga, bahkan saat pemuda itu menyusupkan
kepalanya di dada telanjangku. Pikiranku terasa kosong, tubuhku
benar-benar lemas sekarang, walau rasa nyeri itu sudah jauh berkurang.
Apa yang terjadi? Apa yang sudah kulakukan barusan?
sebelas
Natan membetulkan letak kaca mataku sebelum mengecup keningku di depan
teras. “Aku pulang dulu, Mia. Aku sayang kamu.” Dan aku mulai meragukan
kata-kata yang sejak tadi sore mengiang di kepalaku dengan nada yang
begitu menteramkan.
“Natan….”
“Ya?” pemuda itu membalikkan tubuhnya.
Kupeluk tubuhnya erat, berusaha meyakinkan bahwa Natan tidak menipuku dan mempermainkanku selama enam bulan ini.
“Aku sayang kamu juga.”
Kurasakan Natan membelai punggung dan rambutku.
“Akhirnya kamu katakan juga.”
Dalam air mata yang kembali mengalir di pipiku aku tertawa. Bahagia?
dua belas
Kami sempat melakukannya beberapa kali lagi dua bulan sesudahnya. Aku
senang, karena Natan benar-benar sayang padaku. ia membuktikannya dengan
tidak merubah perlakuannya padaku, masih penuh kasih sayang dan
kelembutan. Hanya satu kata yang mengusik benakku setiap malam menjelang
tidur, yaitu ‘dosa’. Karena sebagai anak yang terlahir di sebuah
keluarga yang religius, mama dan papa berulang-ulang mengingatkanku
untuk tidak terjerumus dalam seks pra-nikah. Tapi apa yang sudah
kulakukan sekarang? Bahkan pada saat aku dan Natan melakukannya terakhir
kali, aku mulai merasa menikmatinya. Kalau bukan aku berarti tubuhku.
Hingga suatu hari yang menyakitkan…..
“Film-nya bagus,” ucapku tersenyum padanya saat melangkah keluar gedung
bioskop. Natan memandangku dan ikut tersenyum. “Sayang sekali heroin-nya
harus mati. Jaman sekarang cerita yang happy-ending susah didapatkan.”
Dengan mengangguk kulangkahkan kakiku memasuki mobil.
Mendadak rasa pening yang amat sangat merasuk di kepalaku, membuat kakiku terpeleset dan tubuhku terjatuh di samping mobil.
“Mia?” seru Natan seraya mengangkatku beridiri.
Dunia terasa berputar. Kupegang atap mobil dan berusaha menghilangkan
pening itu dengan menggoyangkan kepalaku. Sejak dua bulan lalu memang
rasa pusing dan mual sering menyerang kepalaku dengan frekuensi tak
teratur.
“Kamu ngga apa-apa?” tanya Natan masih memegangi pinggangku.
“Ngga apa-apa.”
“Aku antar kamu pulang saja.”
Mengangguk lemah kumasukkan lagi tubuhku ke dalam mobil.
Sesampainya di rumah kubuka lemari obat dan mengeluarkan sebungkus
neuralgin kepunyaan mama. “Kamu sakit?” tanya mama di pintu dapur.
“Pusing,” jawabku lemah. Mama mendekat dan memegang lenganku, mendadak alisnya berkerut manatapku. “Kamu tambah gemuk.”
“Masa?” jawabku tak acuh seraya menyorong obat dengan air dingin. Kulepaskan lenganku dari mama dan melangkah ke kamar.
Pagi itu. Pukul tiga, rasa sakit kebali mengguncang otakku dan memaksaku
bangun. Mendadak perutku merasa mual yang amat sangat. Kularikan
tubuhku ke kamar mandi dan sekejap kemudian cairan lengket tumpah keluar
dari mulutku dan memenuhi WC. Perutku melilit dan kepalaku sakit.
Ya Tuhan, pikirku dalam hati.
Aku hamil?
tiga belas
“Masa?” tanya Natan dengan wajah pucat keesokan harinya di kantin.
“Aku takut,” bisikku lirih. Natan menolehkan kepalanya dan memastikan tidak ada seorangpun yang memperhatikan kami.
“Lalu?” tanyanya, sebuah pertanyaan bodoh yang tak ingin kudengar saat
itu. Kubetulkan letak kaca mataku, menatap pemuda itu berang. Ingin
rasanya saat itu aku berteriak padanya, namun Febrita sudah menghampiri
kami.
“Ayo, Mia. Kita masih ada tugas untuk dikerjakan.”
“Jawab sendiri pertanyaanmu,” desisku sebelum bangkit berdiri. Natan
menatapku dengan pandangan sedih. Jangankan kamu Natan, aku sendiri yang
punya tubuh juga merasa ingin mati.
empat belas
“Mia! Mia! Kamu kenapa?”
Febrita memegangi lenganku. Kurasakan semua orang mulai berkerumun dan
mengelilingiku. Tak tertahan lagi kumuntahkan kembali semua isi perutku.
Kudengar bapak dosen berseru, “Cepat bawa anak ini ke rumah sakit.”
Sesuatu terasa menusuk kepalaku saat lengan-lengan itu memapahku
berdiri. Kilatan-kilatan kembali menggelapkan dan menerangi pandanganku.
Perlahan suara-suara ribut berubah menjadi desau angin yang
menghantarkan kegelapan itu memenuhi benakku.
Natan? Di mana kamu Natan?
Kularikan kakiku sambil berseru-seru memanggil nama kekasihku.
Ini bukan kehamilan….. Natan! Nataaaannn!!
lorong itu masih gelap dengan nebula-nebula menyelimuti pandanganku.
lima belas
Kubuka mataku saat kurasakan sebuah bibir yang kering mengecup pipiku
lembut. Kulihat pemuda itu sudah duduk di sampingku. Wajahnya masih
pucat seperti minggu kemarin saat kukatakan bahwa aku hamil.
Kukembangkan senyumku padanya dan ia ikut tersenyum.
“Sejak kapan di sini?” tanyaku lirih padanya.
Natan, masih tersenyum, membetulkan letak selimut yang menutupi tubuhku sampai ke dada. “Lumayan. Sekitar Satu jam-an.”
Kucoba mengangkat tubuhku tapi Natan menahan. “Tiduran saja.”
“Oke,” sahutku dan merasakan tubuhku benar-benar lemas. Kuacungkan
tanganku ke arah kaca mata di samping tempat tidur. Natan mengambilnya
dan memasangkannya di kepalaku.
“Kamu tahu sesuatu yang menyenangkan?” bisiknya lirih.
“Apa?” tanyaku ingin tahu.
“Kamu ngga jadi hamil,” jawabnya. Lalu kami berdua tertawa.
Tawa itu pahit. Kami berdua tahu itu.
Mendadak Natan menjatuhkan kepalanya di perutku dan menangis.
“Mia….”
“Ssshh, kok nangis?” Kubelai rambutnya yang ikal. Bahkan air mataku sudah habis sejak empat hari yang lalu.
Natan mengangkat kepalanya, meraih tanganku dan menciuminya.
“Hey, kan geli,” candaku. Natan tersenyum walau air mata masih terlihat di pipinya. “Betapa aku menyayangi kamu, Mia.”
“Aku tahu.”
Suasana mendadak jadi hening.
“Natan?”
“Ya,” jawab pemuda itu dengan lembut.
“Aku mau bercinta denganmu.”
“Hah?” pemuda itu lalu tertawa, “Sekarang? Di sini?”
“Ya. Di mana lagi?” ucapku tersenyum.
Natan menatap ke pintu kamar, tertawa dan membuka retsleting celananya.
“Dasar,” ucapnya tersenyum. Dengan tertawa kutarik tubuhnya ke atas
tempat tidur. Natan menciumi bibirku, wajahku, telingaku, leherku, dada
telanjangku. Membuatku menggelinjang dalam kenikmatan. Kubiarkan pemuda
itu bergerak-gerak di atasku, memasuki tubuhku dan memenuhi rongga
kewanitaanku dengan kelelakiannya. Bersama kami mengerang lirih dan
mendesah lembut, tak ingin perawat-perawat itu tahu apa yang kami
nikmati saat itu.
“Natan,” bisikku terengah. Natan mengangkat kepalanya dari dadaku. “Ya?”
“Keluarkan di dalam?” pintaku sambil melirik kepadanya. natan
membelalakkan matanya. “Yang benar saja?” Sesuatu yang tak pernah
dilakukannya.
“Benar,” bisikku padanya. Natan tersenyum dan sebutir air mata kembali
jatuh di perutku. Aku sayang kamu, seolah matanya berkata demikian.
Natan menundukkan kepalanya dan menggerakkan pinggulnya semakin cepat.
Kurasakan sentakan demi sentakan memicu rangsangan listrik itu ke
otakku.
“Natan,” desahku memanggil namanya. Natan menggeliat dan mengencangkan
pinggulnya, menekan lama. Kurasakan semburan cairan itu panas di dalam
kemaluanku. Kulegakan listrik yang sampai di otakku dengan menghembuskan
nafas lega, sekejap kemudian endomorfin bekerja melenakanku dalam
kelelahan dan kenikmatan yang tiada taranya.
Natan menyusupkan kepalanya di leherku dan berbisik, “Aku tetap sayang
kamu, Mia. Selamanya.” Dan bahu pemuda itu beguncang kembali. Di sela
isak tangisnya kurangkul lehernya dan berbisik menimpali.
“Aku juga, Natanael.”
Aku tahu, tak lama lagi aku akan meninggalkan dunia dengan kanker otak
yang sudah mengeroposkan tubuhku. Namun apa yang selama ini menjadikan
iri-ku sudah kubayar impas. Tak ada lagi yang kuharapkan selain
menikmati masa-masa terakhirku di samping orang-orang yang kukasihi.
Mungkin penyesalanku yang terutama adalah mengapa semua ini terlalu
cepat berawal dan berakhir. Tapi itulah yang namanya hidup. Selalu penuh
kejutan.
Saat kulangkahkan kakiku menelusuri anak tangga demi anak tangga menuju
ke puncak menara untuk melihat gunung dan bukit di bawah, aku sadar
bahwa akhirnya aku takkan sanggup menggapai puncak itu. Tapi bahagiaku
karena aku menyaksikan sudah pemandangan indah itu dari celah tembok
menara. Tak perlu muluk, yang penting bahagia, bukan?